Edu Watch dan Bedah Buku




Edu watch dan bedah buku merupakan rangkaian TER  selanjutnya setelah kumpul perdana. Acara ini dilaksanakan hari sabtu, 9 april 2016 pukul 08.00 yang diadakan di gedung sertifikasi guru lantai 8. Acara ini dipandu oleh 2 orang MC kondang (wailah;D), yaitu Ka doddy (pend. Sejarah 2014) dan ka fatra. Tak lupa dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh ka miqdad.  saat itu masih sedikit sekali peserta ter yang hadir. ini  merupakan pertama kalinya saya mengikuti acara bedah film dan bedah buku, sehingga belum ada gambaran seperti apa acaranya nanti. 

Pada acara edu watch film yang diputar adalah “freedom writers”. Mungkin teman-teman yang lain atau kaka-kaka panitia ada yang sudah menonton film ini, berbeda dengan saya yang sebelumnya belum pernah menonton film ini.  Hehe 

Freedom Writers merupakan film yang didasarkan atas kisah nyata kehidupan seorang guru di Long Beach, California, Erin Gruwell (diperankan oleh Hillary Swank). Erin berprofesi sebagai guru bahasa Inggris ketika isu rasisme di Amerika begitu hegemoni. Ia memasuki dunia pendidikan yang rasis setelah dua tahun keributan L.A menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Dengan penuh harapan, Erin mengajar bahasa Inggris di kelas 203, di mana terdapat beragam gank ras yang selalu mengelompok, seperti ras kamboja, kulit hitam, Hispanic, dan seorang kulit putih. Pada awal kedatangan Erin, para murid sama sekali tidak tertarik dengan kehadirannya. Mereka sangat sentimen terhadap orang berkulit putih. Mereka menganggap bahwa Erin tidak mengerti apapun tentang kehidupan mereka yang keras, kehidupan yang selalu berada di bawah bayang-bayang perang dan kekerasan. Bagi mereka, kehidupan adalah bagaimana caranya mereka ”selamat” dari kekerasan, hingga penembakan yang mengatasnamakan “ras”. 
 
Agar diterima oleh anak-anak didiknya, Erin mencari cara untuk melakukan pendekatan dan metode pengajaran yang tepat. Namun, sejak Erin disibukkan dengan pendekatan terhadap anak-anak didiknya dan bekerja paruh waktu, timbul masalah baru, ia diceraikan oleh suaminya. Hingga pada akhirnya, ayahnya yang semula tidak mendukung, berbalik mendukung pekerjaan Erin. Erin paham dengan kondisi anak-anak didiknya yang selalu berkelompok dengan ras mereka masing-masing. Akhirnya, ia menemukan cara untuk “menjangkau” kehidupan mereka dengan memberikan mereka buku, dan meminta mereka mengisinya dengan jurnal harian. Bahkan, ketika sekolah mendiskriminasikan fasilitas buku, Erin memberikan buku baru tentang kehidupan gank yang lekat dengan keseharian mereka. Sejak membaca jurnal harian yang bercerita tentang kehidupan mereka yang keras, Erin semakin bersemangat untuk mengubah kehidupan anak-anak didiknya, serta menghapus batas tak terlihat yang secara kultur memisahkan mereka dengan cara-cara yang mengagumkan.

Dalam film ini juga kita bisa melihat bagaimana usaha Erin mendatangkan Mrs…..seorang wanita penolong Anne Frank, anak Yahudi yang hidup pada zaman Hitler dan holocaust-nya. Ia mendatangkan Mrs….untuk berbagi cerita kepada anak-anak didiknya tentang sebuah “bencana” yang terjadi karena rasisme, serta usaha-usaha Erin lainnya yang mendapat tantangan dari pihak-pihak sekolah.

Akhirnya, keteguhan Erin dalam mendidik mereka berbuah hasil. Anak-anak tersebut, yang semula  benci satu sama lain Karena perbedaan ras, akhirnya menjadi berteman dan mendobrak sekat-sekat ras di antara mereka. Bahkan, ketika ada kasus penembakan yang menimpa seorang kawan anak didiknya, ia mengajarkan tentang arti kejujuran.

Setelah pemutaran film “freedom writers selesai” sayapun menengok kebelakang, dannn…… peserta yang hadir semakin bertambah. Alhamdulillah yah. Setelah selesai acara pemutaran film para peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan makna yang dapat mereka amvil setelah menonton film tersebut. Setelah itu  kami diberi waktu untuk istirahat sampai pukul 12.30.

Setelah istirahat acara dilanjutkan dengan bedah buku. Sebelumnya setiap kelompok sudah mempersiapkan satu buah buku yang akan mereka presentasikan dan dibedah bersama-sama dengan kelompok lain. Pada agenda kali ini kelompok 5 yang hadir hanya 4 orang yaitu fitri, ka muzaki , ka qonita dan saya dengan ditemani kaka fasil cantik ka fitri. Saya dan kelompok 5 lainnya akan mempresentasikan buku karangan sujiwa tedjo yang berjudul “lupa endonesa”.

Sujiwo Tejo. Siapa yang tak kenal dengan seniman eksentrik sekaligus wartawan senior asal Jember lulusan ITB yang selalu menuturkan sudut pandangnya terhadap berbagai polemik bangsa Indonesia dengan caranya yang terkesan nyeleneh, tapi menohok. Meski terkesan ngawur, berbagai pemikirannya itu terbilang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Kemampuan pak Jiwo dalam mengkritisi segala persoalan sosial dan politik yang sedang terjadi dengan bungkus humor yang sarkartis namun cerdas, tak bisa disepelekan begitu saja. Di tulisan dan cerita wayangnya, segala masalah bangsa ini ditelanjangi habis-habisan, disuguhkan dalam bentuk humor cerdas yang menggelitik rasa ingin tahu siapa saja. Tak hanya itu, sindiran-sindirannya juga mampu membuka mata dan pikiran masyarakat tentang apa yang terjadi di negeri ini. Dan tentu saja semua itu dilakukannya tanpa ada rasa bersalah atau takut ke berbagai pihak yang “tertusuk” kritiknya. Buku setebal 218 halaman ini merupakan kumpulan tulisan Sujiwo Tejo bertajuk “Wayang Durangpo” yang terbit setiap hari Minggu di harian Jawa Pos. “Durangpo” adalah akronim dari “Nglindur Bareng Ponokawan”. Nglindur (bahasa Jawa) artinya mengigau. Sedangkan Ponokawan adalah para abdi raja dalam cerita pewayangan, yang terdiri dari: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Mbilung, Cangik dan Limbuk. Dalam pengantar buku ini, Sujiwo Tejo menyebutkan bahwa saat mengingau, apa saja menjadi tak mustahil terkatakan. Karena, saat seseorang mengigau yang diomongkan memang sekena-kenanya, tak ada yang salah, tak berpedoman, juga tanpa aturan dan batasan. Melalui para Ponokawan inilah Sujiwo mencoba membedah berbagai persoalan dalam alur cerita wayang khas miliknya. Dalam buku yang terbagi atas 6 tema besar (Cinta Tanah Air, Dasar Manusia, Lupa-Lupa Ingat, Fulus Oh Fulus, Kecanduan Berharap dan Negeri Mimpi) ini pak Jiwo memaparkan pikiran-pikiran ngawurnya yang ternyata menggunah nurani. Sebut saja ketika pak Jiwo membuat cerita tentang banyaknya pejabat bejat ketika menjabat dalam Lakone Hanoman Ambasador (hlm 42-48). Lewat tiga tokoh utama dalam pewayangan, yakni Hanoman, Limbuk, dan Cangik, Jiwo berhasil menampilkan alur cerita yang sepertinya nyeleneh tapi sangkil. Melalui cerita versi pewayangan itu, pak Jiwo dengan lepas dan tanpa takut menyampaikan sumpah serapahnya terhadap pejabat korup yang memandang sebuah jabatan sebagai kondisi yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai bentuk pengabdian kepada rakyatnya. Cerita ini ternyata tak hanya memberikan kritikan yang dibumbui humor satir, namun juga bisa dijumpai berbagai mutiara kearifan yang bersumber dari nilai filosofi kehidupan. Contohnya dalam deskripsi tokoh Hanoman. Meskipun Hanoman itu berwujud monyet, namun hatinya tak ubahnya dengan hati manusia. Jadi, “kemanusiaan” seseorang tak tergantung bagaimana wujudnya, namun tergantung esensinya. Sesuatu yang tak berwujud manusia bisa saja disebut manusia karena punya esensi “kemanusiaan” seperti Hanoman itu. Bukan hanya filosofi kehidupan, tulisan-tulisan pak Jiwo di buku ini juga menyiratkan tentang nilai-nilai agama. Contohnya pada lakon Lupa Endonesia (2-7), dalam dialog antara Dewi Sariwati dengan Gareng (suaminya), sang Dewi bertutur, “Ibadah sembahyang itu tidak untuk dipamer-pamerkan, yang penting niatnya”. Kemudian Gareng mengatakan bahwa, “Intinya, bagaimana sembahyang itu bisa mendorong seluruh hatimu untuk menolong orang lain. Itulah inti pergi ke masjid, gereja, vihara, kuil, dan sebagainya. Kalau sebagian besar warga sembahyangnya bener, artinya bergairah bantu-membantu, jutaan penganggur itu akan dapat ojir untuk membuka lapangan kerja sendiri”. Disini Jiwo mencoba menanamkan bahwa jika masyarakat sembahyangnya benar maka perilakunya juga ikut benar. Begitu juga sebaliknya. Terlepas dari kekurangan yang ada, seperti pemberian judul setiap cerita dalam bukunya yang terkesan dipaksakan, Jiwo telah berhasil menanamkan pemikiran-pemikirannya tentang persoalan yang dialami bangsa ini dan bagaimana cara kita menyingkapinya. Bukan dengan apatis dan melupakan segala permasalahan bangsa, tetapi setidaknya berani mempertanyakan berbagai peristiwa tak pantas yang anehnya dianggap wajar oleh banyak orang.

Acara bedah buku kali ini dipandu oleh ka reni. Setiap peserta duduk dan berkumpul dengn kelompoknya masing-masing. 

Berikut daftar kelompok dan buku yang akan dibedah :
Kelompok 1 : (tidak ada yang hadir)
Kelompok 2 : dua belas pasang mata
Kelompok 3 : sekolahnya manusia
Kelompok 4: Bela Belajar Tak Perlu Air Mata
Kelompok 5 : Lupa Endonesa
Kelompok 6 : rahasia ayah edy memetakan potenai unggul anak
Kelompok 7 : ranah 3 warna
Kelompok 8 : siswa aktif pangkal guru kreatif
Kelompok 9 : ssang pemimpi
Kelompok 10 : paradigma pendidikan abad 21
Kelompok 11 : toto chan
Kelompok 12 : rich dad and poor dad

Setiap kelompok masing-masing mempresentasikan mengenai buku yang telah mereka persiapkan dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Acara berjalan dengan lancar. Selanjutnya acara ditutup oleh moderator kak reni dengan sebuah kalimat yang sangat menarik yaitu :

“pendidikan adalah urudan kita semua”. 

Tidak terasa kami sudah sampai dipenghujung acara. Acarapun ditutup dengan doa oleh ka fatra dan dilanjutkan dengan foto bersama seluruh pserta dan panitia :)


1 Response to "Edu Watch dan Bedah Buku"